1.06.2017

PARADOKS DUA RIBU TUJUH BELAS


Arnold P. Toynbee, sejarawan yang dikenal dengan teori : Challege and Response, dalam bukunya the history of mankind, mengatakan, " setiap bangsa pada suatu saat dalam perjalanan sejarahnya akan menghadapi suatu tantangan yang begitu besar bahkan akan menggancam eksistensinya. Terserah pada bangsa itu untuk mengatasi tantangan yang datang itu, bangsa ini akan tenggelam dalam lintasan sejarah bila gagal menjawab tantangan tersebut dan menjadi bangsa yang datangnya tidak mengenapkan, perginya pun tidak mengganjilkan. Atau bila berhasil, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang kehadirannya akan diperhitungkan".
Genderang pergantian tahun 2016 Ke 2017 sudah mulai ditabuh, suaranya hingga menembus pelosok-pelosok desa. Pesta demokrasi disebagian desa di NTB juga sedang, akan, dan ada yang sudah berlalu, bagi yang “sedang” dan “akan” tentu segala janji kampaye menjadi pembicaraan alias pelagak lekong belah yang renyah dibincangkan sehari hari. Bagi yang sudah berlalu, tentu hanya menyisakan kekecewaan-kekecewaan akibat kekalahan jagoan mereka. Para elite politik papan atas juga membangun manifesto-manifesto gerakan untuk 2017 sebagai starting point dari gerakan yang lebih besar pada tahun berikutnya.  Ikrar Nusa Bhakti mengatakan "jika kita tidak berhasil mengonsilidasikan demokrasi kita pada 2014, indonesia bukan hanya menjadi negara gagal pada 2024, melainkan bisa juga menjadi Negara yang roboh dan hancur berkeping-keping pada 2050. hal tersebut kemungkinan bisa terjadi, jika para elite politik dibiarkan, atau masyarakat melakukan pembiaran terhadap kezaliman yang mengangga didepan kita. Sehingga tentu saja generasi muda bangsa ini harus menjadi menjadi agent of control dan agent of social equilibrium, sebab kita tidak tidak ingin Indonesia kelak hanya tinggal dipeta-peta, atau kita bisa meraih mimpi 2050 sebagai golden period dari bangsa Indonesia. Tetapi kita harus optimis hal tersebut bisa diraih, sebab negara yang kini menjadi Adidaya, sudah mulai ketakutan, kropos dan tidak bisa diharapkan dimasa depan, roda itu berputar; dari atas menuju ke bawah, era mendatang adalah peluang emas Indonesia. Indonesia memang dielu-elukan tetapi Indonesia adalah masa depan, walau Paradoks tentang Indonesia masih mendarah daging seperti: "Kita kaya tapi miskin (Kekayaan SDA melimpah, tapi miskin penghasilan). Kita besar tapi kerdil (amat besar wilayah & penduduknya, tapi kerdil dalam produktivitas dan daya saing) . Kita kuat tapi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam tantangan global). Kita indah tapi buruk (indah dalam potensi dan prospeknya, namun buruk dalam pengelolaannya) mengapa masih terjadi paradoxial? Karena bangsa ini terkena penyakit orientasi. seperti yang diungkap Mantan Wakil Presiden RI Bacharudin Yusuf Habibie. Beliau menyampaikan bahwa "kita lebih mengandalkan SDA ketimbang SDM, Kita lebih berorientasi jangka pendek daripada jangka panjang, Kita lebih mengutamakan citra daripada karya nyata, Kita lebih melirik makro daripada mikro , Kita lebih mengandalkan cost added daripada value added, Kita lebih berorientasi pada neraca pembayaran dan perdagangan daripada neraca jam kerja, Kita lebih menyukai jalan pintas (korupsi, kolusi, penyelewengan dsb) daripada kejujuran dan kebajikan, Kita lebih menganggap jabatan (power) sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan (power centered rather than accountable /amanah). Jika kita mampu menghilangkan penyakit orientasi tersebut maka tunggu apa yang akan terjadi "itu" (meminjam bahasa Mario Teguh dalam golden way). Rakyat Indonesia akan menjadi tuan di negaranya sendiri dan Indonesia emas 2020 yang menjadi visi besar yang emban oleh para pendekar ESQ 165 dan seluruh rakyat Indonesia akan menjadi kenyataan. Indonesia emas mengisyarakatkan kesuksesan menyelesaikan masalah pada berbagai ranah kehidupan, Indonesia yang bangkit dari segala ketertinggalan. hal tersebut akan tercapai bila penyakit orientasi diatas mampu diluluh lantakkan. Untuk mencapai itu, pentingya sebuah paradigm baru serta hadirya sosok pemimpin baru sebagai nahkoda yang akan membawa bahtera yang bernama Indonesia ini ketepian kemajuan. Menurut Anies Baswedan, pemimpin bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan dan segala macam atribut yang biasa dilettakan pada figure pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak adalah soal ada tidaknya yang mengikuti. Dalam rumusan sederhana pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin. Seorang diakui sebagai pemimpin bila kepadanya diberikan kepercayaan. Sehingga dalam rumusan sederhana Baswedan mengungkapkan, pemimpin adalah orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya. Diikuti karena dipercaya, karena kepercayaan adalah kombinasi dari kompetensi, integritas dan kedekatan. Ketiga faktor ini meningkatkan tingkat kepercayaan. Pemimpin harus menjadi pemimpi, sebab pemimpin yang mampu mengabungkan mimpi menjadi realita bisa disebut sebagai pemimpin. Lalu peminpin juga selalu disorot, pemimpin harus siap menerima pujian dan kritikan, jika tidak mau dikritik jangan bermimpi jadi pemimpin, pemimpin yang tidak terbang ketika dipuji dan tidak tumbang ketika dicaci itulah pemimpin harapan kita, seorang pemimpin yang setiap hari diterpa keadaan sulit, jatuh dan mampu bangkit kembali (top and down) inilah pemimpin masa depan. dan pemimpin yang kita impikan adalah pemimpin yang tidak gila penghormatan tapi menjaga kehormatan. Mudah mendapatkan penghoramantan pada zaman ini, karena bisa dibeli dan dipanggungkan, sementara penghormatan itu bukan diperjual belikan, seorang peminpin yang gagasannya terhormat maka dengan sendiri dia akan mendapatkan kehormatan. "penghormatan itu foto sedangkan wajah adalah karakter, penghormatan itu bertahan seperti jamur, sedangkan karakter hidup selamanya, penghormatan itu apa yang orang katakan tentang kita diatas batu nisan, sementara karakter apa yang orang katakan tentang kita pada masa mendatang dan hidup selamanya". Maka sebagai manifesto gerakan 2017, pemimpin harus memiliki mimpi, nyali yang besar, karakter yang kokoh dan pemimpin yang berintegritas. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani menegakkan integritas, berani perangi jual beli kebijakan dan jabatan, dan pemimpin yang berani pasang badan ketika rakyat dijarah oleh mereka yang memiliki jaringan. Bukan pemimpin yang diam ketika rakyat didera, lembek saat Negara dilecehkan, seorang pemimpin yang tidak membiarkan secuilpun rakyat dicendrai oleh siapapun. Pemimpin harus mampu menghadirkan suasana yang harmonies, pemimpin sebagai dirgen dalam pertunjukan orchestra sehingga musik yang dimainkan memiliki jiwa-nya, pemimpin hadir dengan Suasana memberikan arah, membawa misi dan menelurkannya pada rakyat. Dan yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berorientasi pada gerakan, pendekatannya movement bukan programmatik sehingga semua merasa terpanggil untuk terlibat. Kita memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membukakan perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru dan menyalakan harapan jadi lebih terang. Indonesia yang lebih baik adalah harapan kita semua pada 2017.
 


Read More......