Arnold P. Toynbee,
sejarawan yang dikenal dengan teori : Challege and Response, dalam
bukunya the history of mankind, mengatakan, " setiap bangsa pada
suatu saat dalam perjalanan sejarahnya akan menghadapi suatu tantangan
yang begitu besar bahkan akan menggancam eksistensinya. Terserah pada bangsa
itu untuk mengatasi tantangan yang datang itu, bangsa ini akan tenggelam dalam
lintasan sejarah bila gagal menjawab tantangan tersebut dan menjadi bangsa yang
datangnya tidak mengenapkan, perginya pun tidak mengganjilkan. Atau bila
berhasil, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang kehadirannya akan
diperhitungkan".
Genderang pergantian
tahun 2016 Ke 2017 sudah mulai ditabuh, suaranya hingga menembus
pelosok-pelosok desa. Pesta demokrasi disebagian desa di NTB juga sedang, akan,
dan ada yang sudah berlalu, bagi yang “sedang” dan “akan” tentu segala janji
kampaye menjadi pembicaraan alias pelagak
lekong belah yang renyah dibincangkan sehari hari. Bagi yang sudah berlalu,
tentu hanya menyisakan kekecewaan-kekecewaan akibat kekalahan jagoan mereka. Para
elite politik papan atas juga membangun manifesto-manifesto gerakan untuk 2017
sebagai starting point dari gerakan yang lebih besar pada tahun berikutnya. Ikrar Nusa Bhakti mengatakan "jika kita
tidak berhasil mengonsilidasikan demokrasi kita pada 2014, indonesia bukan
hanya menjadi negara gagal pada 2024, melainkan bisa juga menjadi Negara yang
roboh dan hancur berkeping-keping pada 2050. hal tersebut kemungkinan bisa
terjadi, jika para elite politik dibiarkan, atau masyarakat melakukan pembiaran
terhadap kezaliman yang mengangga didepan kita. Sehingga tentu saja generasi muda
bangsa ini harus menjadi menjadi agent of control dan agent of social equilibrium,
sebab kita tidak tidak ingin Indonesia kelak hanya tinggal dipeta-peta, atau
kita bisa meraih mimpi 2050 sebagai golden period dari bangsa Indonesia. Tetapi
kita harus optimis hal tersebut bisa diraih, sebab negara yang kini menjadi
Adidaya, sudah mulai ketakutan, kropos dan tidak bisa diharapkan dimasa depan,
roda itu berputar; dari atas menuju ke bawah, era mendatang adalah peluang emas
Indonesia. Indonesia memang dielu-elukan tetapi Indonesia adalah masa depan,
walau Paradoks tentang Indonesia masih mendarah daging
seperti: "Kita kaya tapi miskin (Kekayaan SDA melimpah, tapi miskin
penghasilan). Kita besar tapi kerdil (amat besar wilayah &
penduduknya, tapi kerdil dalam produktivitas dan daya saing) . Kita
kuat tapi lemah (kuat dalam anarkisme, lemah dalam tantangan global). Kita
indah tapi buruk (indah dalam potensi dan prospeknya, namun buruk dalam
pengelolaannya) mengapa masih terjadi paradoxial? Karena bangsa ini terkena
penyakit orientasi. seperti yang diungkap Mantan Wakil Presiden
RI Bacharudin Yusuf Habibie. Beliau menyampaikan bahwa "kita lebih
mengandalkan SDA ketimbang SDM, Kita lebih berorientasi jangka pendek
daripada jangka panjang, Kita lebih mengutamakan citra daripada karya
nyata, Kita lebih melirik makro daripada mikro , Kita lebih
mengandalkan cost added daripada value added, Kita lebih
berorientasi pada neraca pembayaran dan
perdagangan daripada neraca jam kerja, Kita lebih
menyukai jalan pintas (korupsi, kolusi, penyelewengan dsb)
daripada kejujuran dan kebajikan, Kita lebih menganggap jabatan
(power) sebagai tujuan daripada sebagai sarana untuk mencapai tujuan
(power centered rather than accountable /amanah). Jika kita mampu
menghilangkan penyakit orientasi tersebut maka tunggu apa yang akan terjadi
"itu" (meminjam bahasa Mario Teguh dalam golden way). Rakyat
Indonesia akan menjadi tuan di negaranya sendiri dan Indonesia emas 2020 yang
menjadi visi besar yang emban oleh para pendekar ESQ 165 dan seluruh rakyat
Indonesia akan menjadi kenyataan. Indonesia emas mengisyarakatkan kesuksesan
menyelesaikan masalah pada berbagai ranah kehidupan, Indonesia yang bangkit
dari segala ketertinggalan. hal tersebut akan tercapai bila penyakit orientasi
diatas mampu diluluh lantakkan. Untuk mencapai itu, pentingya sebuah paradigm
baru serta hadirya sosok pemimpin baru sebagai nahkoda yang akan membawa
bahtera yang bernama Indonesia ini ketepian kemajuan. Menurut Anies Baswedan,
pemimpin bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan dan segala macam
atribut yang biasa dilettakan pada figure pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak
adalah soal ada tidaknya yang mengikuti. Dalam rumusan sederhana pemimpin
adalah soal pengakuan dari yang dipimpin. Seorang diakui sebagai pemimpin bila
kepadanya diberikan kepercayaan. Sehingga dalam rumusan sederhana Baswedan
mengungkapkan, pemimpin adalah orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya.
Diikuti karena dipercaya, karena kepercayaan adalah kombinasi dari kompetensi,
integritas dan kedekatan. Ketiga faktor ini meningkatkan tingkat kepercayaan.
Pemimpin harus menjadi pemimpi, sebab pemimpin yang mampu mengabungkan mimpi
menjadi realita bisa disebut sebagai pemimpin. Lalu peminpin juga selalu
disorot, pemimpin harus siap menerima pujian dan kritikan, jika tidak mau
dikritik jangan bermimpi jadi pemimpin, pemimpin yang tidak terbang ketika
dipuji dan tidak tumbang ketika dicaci itulah pemimpin harapan kita, seorang
pemimpin yang setiap hari diterpa keadaan sulit, jatuh dan mampu bangkit
kembali (top and down) inilah pemimpin masa depan. dan pemimpin yang kita
impikan adalah pemimpin yang tidak gila penghormatan tapi menjaga kehormatan.
Mudah mendapatkan penghoramantan pada zaman ini, karena bisa dibeli dan
dipanggungkan, sementara penghormatan itu bukan diperjual belikan, seorang
peminpin yang gagasannya terhormat maka dengan sendiri dia akan mendapatkan
kehormatan. "penghormatan itu foto sedangkan wajah adalah karakter,
penghormatan itu bertahan seperti jamur, sedangkan karakter hidup selamanya,
penghormatan itu apa yang orang katakan tentang kita diatas batu nisan,
sementara karakter apa yang orang katakan tentang kita pada masa mendatang dan
hidup selamanya". Maka sebagai manifesto gerakan 2017, pemimpin harus
memiliki mimpi, nyali yang besar, karakter yang kokoh dan pemimpin yang
berintegritas. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani menegakkan
integritas, berani perangi jual beli kebijakan dan jabatan, dan pemimpin yang
berani pasang badan ketika rakyat dijarah oleh mereka yang memiliki jaringan.
Bukan pemimpin yang diam ketika rakyat didera, lembek saat Negara dilecehkan,
seorang pemimpin yang tidak membiarkan secuilpun rakyat dicendrai oleh
siapapun. Pemimpin harus mampu menghadirkan suasana yang harmonies, pemimpin
sebagai dirgen dalam pertunjukan orchestra sehingga musik yang dimainkan
memiliki jiwa-nya, pemimpin hadir dengan Suasana memberikan arah, membawa misi dan
menelurkannya pada rakyat. Dan yang kita butuhkan adalah pemimpin yang
berorientasi pada gerakan, pendekatannya movement bukan programmatik sehingga
semua merasa terpanggil untuk terlibat. Kita memerlukan pemimpin yang
menginspirasi, membukakan perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru dan
menyalakan harapan jadi lebih terang. Indonesia yang lebih baik adalah harapan kita
semua pada 2017.
0 komentar:
Posting Komentar