Beberapa tulisan saya sebelumnya telah membicarakan tentang TGB. Dari membicarakan pandangan orang luar Lombok atas makna Bajang secara semantik hingga isu kata “tiko” yang saya tulis dari sudut pandang pragmatik. Tulisan saya kali ini ingin berbicara TGB on the right track tanda seru dan tanya. Pertanyaan utamanya adalah apakah TGB on the right track? Dari pertanyaan ini nanti kita bisa menemukan sebuah konseptualisasi bagaimana melihat TGB sebagai orang Sasak dan juga anak bangsa yang memiliki hak yang sama dengan anak bangsa lainnya untuk berdikari dan bersuara. Walaupun beliau dilahirkan pada bangsa sasak, tapi TGB sejatinya juga milik Indonesia. Hanya saja TGB salah Sasak mengandung (kata Dr. Salman Al-Farisi Dosen senior UPSI Malaysia).
Ditengah gaya kepemimpinan TGB yang selalu menciptakan sense of belonging rasa memiliki dan saling percaya dan memotivasi atau dalam bahasa Warren Bennis, gaya kepemimpinan affiliative. Walau ada sebagian berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang dibutuhkan sekarang adalah gaya movement atau pendobrak yang melakukan gerakan-gerakan besar, gaya retorik yang hebat walau kadang kontroversial. Tetapi TGB berbeda memandang hal ini, bagi TGB cara-cara kontroversial itu adalah cara lama dan sekarang sudah tidak relevan lagi, karena sejatinya semua anak bangsa terus mengikuti perkembangan global/ melek IT dan harus didekati dengan pendekatan soft approach. Don Tapscott menyebutnya generasi net (net generation). Jika dulu pendekatannya analog, harus dengan mengangkat senjata berperang melawan penjajahan, sekarang tidak adalagi penjajahan secara fisik, hanya saja yang marak sekarang tirani ideologi yang memungkinkan kita tidak bisa berseberangan pandangan lalu darah di halalkan tidak ubahnya zaman halal lepang (Sasak term artinya, zaman kodok menjadi halal).
Hipotesa bersama sahabat Indonesia diaspora ketika berdiskusi masalah bangsa melihat bahwa kegaduhan yang menari-nari hari ini di Indonesia murni berdasarkan kepentingan politik. Dengan menjadikan simbol-simbol agama sebagai manuver politik, mengkultuskan tokoh agama yang sesuai kepentingan politik. Ketika salah seorang menemukan ijtihadnya dan berbeda pandangan dan kepentingan politik, saat itu tokoh tersebut tak lagi dianggap pada jalan yang benar bahkan konon tidak mendapatkan hidayah maka tokoh itu dengan bersegera diabaikan. Dan hipotesa tersebut terbukti melalui sikap TGB bahwa puja-memuji hanya berdasarkan kepentingan bukan atas nama akal sehat, “anda sehat” (kata sahabat saya Mastur Sansoka salah seorang dosen di Lombok). Begitu juga sebaliknya pemikiran anti NKRI, anti Kbinekaan dan lain sebagainya yang terlempar tersemat pada kubu yang berseberangan. TGB hadir tidak ingin diantara dua konstelasi pembenaran tersebut, TGB hanya ingin menempatkan dirinya sebagai penyeimbang sosial (social equilibirium) ditengah-tengah ketidakberimbangan ini tetapi tentu keberimbangan bukan berarti tidak ada pilihan, karena punya sikap politik dan tidak punya sikap politik bukan berarti selalu tidak objektif, dan subjektif, tetapi bisa saja mereka yang apatis pada sikap politik ia sesungguhnya sedang bermain pada tingkat subjektivitasnya. TGB sebagai Gubernur termuda dua periode, hafizun Quran adalah sebuah entitas keperibadian yang lengkap. Berbicara seadanya, membalas sumpah serapah dengan senyum dan berhuznuzon adalah sikap TGB sebagai penyeimbang. Lantas masyarakat tercengang dan sadar bahwa polarisasi yang sangat masif hari ini bukan memperjuangkan agama tapi hanya memperjuangkan birahi politik.
Kita harus open minded pada realita politik Indonesia yang biurlantur/oregade (ribut) dengan berbagai isu, sesungguhnya muaranya dari kepentingan dan telah menyulap kata-kata menjadi begitu liar yang keluar dari makom denotasinya, sehingga membersitkan konotasi-konotasi liar dan menjadi tontonan beberapa tahun terakhir ini dan masih menabuh genderangnya dimana-mana. Ditengah berbagai isu yang kontroversial tersebut, dan sengitnya kepentingan politik, nama TGB muncul tiba-tiba mendukung pertahana bapak Jokowi untuk bertarung dalam pilpres 2019. Dan tentu banyak yang gagap karena keputusan TGB yang diluar dugaan sebagian orang. Ada juga sebagian kocar-kacir karena selama ini TGB dijadikan sebagai kuda pacunya dan sekarang sudah tidak jinak lagi. Yang dulu memuja-muji kini sebaliknya. Dalam ruang seperti itu, tampak bahwa TGB hadir melawan kemapanan pemujanya dan orang yang mengelu-elukannya. Berbalik arus bah air bandang yang datang menyapu dan meluluh lantakkan kesonggongan. TGB telah menunjukkan dirinya memiliki kemapanan berpoitik dan tidak tergerus oleh koor dan apologi pemujanya.
TGB memang ngoncer (mulai kelihatan) jadi pembicaraan nasional, terpampang namanya pada headline beberapa koran akbar dan sering di undang TV swasta ternama belakangan ini. Banyak yang tercengang melihat ketendehan atau kesantunan dan budi bahasa TGB yang menjadi magnet bagi mereka yang baru kenal. Ketendehan atau kesantunan yang beliau tunjukkan adalah kesantunan orang sasak yang selalu ramah dan tak cepat lupa terhadap budi baik orang, bahkan sikap orang sasak yang menahan lidahnya sendiri untuk kebaikan orang lain dan menahan diri mencibiri sesuatu yang ia tak suka demi menyelamatkan muka orang (face saving dalam teorinya Brown dan Levinson yang dipinjam dari Goffman). Begitulah cara orang Sasak menjaga keseimbangan dengan ketendehan. Motivasi ketendehan tersebut bagi manusia Sasak adalah kenderaan untuk penyelenggaraan keseimbangan sosial dan sebagai bentuk dukungan interpersonal untuk mengelakkan konfrontasi, meminjam bahasanya Prof. Mahyuni, menjadikan ketendehan sebagai gerakan sosial pembangunan (sosial capital).
Dua layer diatas sedang diperankan oleh TGB, baik beliau sebagai penyeimbang (equilibirium) dan mengelakkan priksi-priksi (confilict avoidance) yang terjadi antara anak bangsa. Jika TGB berhasil dalam sikapnya maka TGB telah membuat sejarah baru tentang konseptualisasi identitas luar jawa yang tentu saja tidak jauh beda dengan daerah luar jawa lainnya menjadi subordinat dalam kepemimpinan nasional. Bak adigum “siapa yang mampu mempersunting dara betawi, dia sudah menguasai Indonesia”. Adigum ini tentu tidak lahir dalam fikiran yang hampa, tetapi ia adalah bentuk konseptualisasi fikiran yang telah memproduksi kognisi masyarakat dalam melihat dunianya. Sehingga kemudian konseptualisasi tersebut berangsur-angsur menjadi sistem, keyakinan dan politik kebudayaan. Jika TGB hadir hari ini mewakili identitas lokalnya yang mencesuar menjadi nasional adalah menjadi preseden buruk dalam sejarah generasi entitas masyarakat pinggiran, jika abai dan mengercitkan dahi sambil menundukkan pandangan tak bersuara untuk TGB. Maka tetaplah menjadi bagian subordinat alias panjak selaek-lecek (selamanya) karena tidak peka menerjemahkan arah angin yang bertiup mendekat yang seolah-olah mengatakan “ayo saatnya mengukir politik kebudayaan kita. (Kalah sik dengan toak laek [orang tua dulu] cukup menerjemahkan pergantian musim dari hembusan angin dan dari hitungan bintang di langit).
Maka TGB on the right track? TGB telah memantik daya imagi teritori yang selama ini tak terdengar dan laku suaranya. TGB sebagai simbol space identitas untuk memberikan alarm agar tak terus bermental second hand alias slaver. Jika gerakan creative minority ini masif dan terus bersumber dari entitas-entitas kecil, maka tak akan terdengarlah ‘politik apabila’, yaitu apabila menguntungkan diakomodasi, apalagi tak menguntungkan dalam kalkulasi politik diabaikan, ‘kognisi politik apabila’ yang dimetaforkan bagi entitas yang tak memiliki kesadaran politik kebudayaan.
TGB on the right track, tetapi, kita juga mesti memperhatikan in the right direction yaitu tujuan yang tepat, sebab on the right track saja tidak cukup, mesti merapikan tujuan yang jelas sehingga kita bisa mengatur on the right speed untuk mengayuh lebih cepat agar mencapai tujuan yang hebat. Dan ketiganya itu harus masuk dalam on the rigth secure dan safety agar aman sampai tujuan. Karena gerbong kapal yang dibawa mesti dipastikan tidak ada kebocoran dengan demikian penumpangya selamat sampai ketepian dengan kecepatan maksimal. So,, apakah TGB on the right track?. Tabek wallar,
0 komentar:
Posting Komentar