PRAYA—Dua kubu di organisasi Nahdlatul Wathan (NW), Pancor dan Anjani, kini bersatu lagi. Tidak ada sekat lagi antardua belah pihak yang sempat berpisah itu. Momen bersatunya NW Pancor dan Anjani, berlangsung di Lapangan Umum Muhajirin, Praya, kemarin sore.
Bersatunya dua keluarga besar keturunan Almagfurullah Maulana Syekh TGKH M Zainuddin Abdul Madjid dikemas dalam acara silaturahmi dan Syafa’atul Qubro yang digagas pemuda NW bersatu.
Hadir dalam kesempatan ini, putra Ummi Hj Siti Rauhun, HM Syamsul Luthfi. Sedangkan Ummi Hj Siti Raehanun ZAM diwakili putranya TGHL Gde Sakti. Sementara dua ummi berhalangan hadir karena satu dan lain hal. Demikian halnya dengan TGH M Zainul Majdi maupun TGHL Gde At Tsani.
Pantauan Lombok Post, silaturahmi akbar ini dihadiri puluhan tuan guru NW Anjani dan NW Pancor, pengurus besar dua belah pihak, jamaah organisasi NW Anjani dan Pancor, serta pihak terkait lainnya.
Beberapa tokoh NW Pancor yang hadir di antaranya, Dr Mawardi, TGH Mahmud, TGH Faisal, TGH Mursidin Zuhdi, TGH Tahir Azhari, TGH Ahmad Said, dan tuan guru lainnya. Sedangkan tokoh NW Anjani di antaranya, TGH Muhamad Yasin, TGH Habib Tantawi, TGH Mustamin Hafifi, TGH Zaenal Arifin, TGH Hilmi Najamudin, TGH M Burhanudin, TGH Mashur Rajab, dan sejumlah tuan guru lainnya.
Bersatunya NW Anjani dan Pancor ditandai dengan sambutan bersama yang disampaikan oleh HM Syamsul Luthfi dan TGHL Gde Sakti di panggung utama.
HM Syamsul Luthfi, membuka sambutannya dengan mengucap rasa syukur atas apa yang terjadi di Lapangan Umum Muhajirin Praya itu. ‘’Cucu-cucu Almagfurullah Maulana Syekh berkumpul di sini untuk merajut kebersamaan,’’ ujarnya.
Praya merupakan salah satu tempat bersejarah bagi organisasi NW. Tahun 2001, perpecahan di organisasi NW terjadi di Praya. Kini, organisasi NW kembali bersatu di Praya pula.
Kepada keluarga besar Ummi Hj Siti Raehanun dan jamaah organisasi NW, Syamsul Luthfi menyampaikan salam ibunda tercintanya Ummi Hj Siti Rauhun. Persatuan dan kebersamaan di dalam organisasi NW, merupakan salah satu cara membalas jasa dan meneruskan cita-cita perjuangan pendiri NW, Almagfurullah Maulana Syekh.
‘’Yang lalu biarkan berlalu. Rangkai kebersamaan untuk kesuksesan pada masa yang akan datang,’’ ajak pria yang juga Wakil Bupati Lombok Timur itu.
Dikatakan, perjuangan NW ke depan cukup berat. Karena itu, organisasi NW bersama seluruh pengurus dan jamaahnya butuh kebersamaan. Konsep yang dijalankan adalah berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Momen di Lapangan Umum Muhajirin itu sekaligus menepis sejumlah opini yang mengatakan tidak mungkin dua NW bersatu lagi. ‘’Tolong sosialisasikan kepada jamaah yang tidak hadir. Sudah tidak ada perpecahan lagi di tubuh NW,’’ pintanya.
Pada kesempatan itu, Luthfi sempat menyinggung pencalonan salah satu cucu Almagfurullah Maulana Syekh sebagai Bupati Loteng. Ia mengajak seluruh jamaah NW untuk mendukung demi kemajuan Loteng di masa yang akan datang. ‘’Mari perkuat barisan untuk meraih kemenangan. Mengerti maksud saya,’’ serunya.
Sementara itu, TGHL Gde Sakti tidak terlalu banyak memberikan sambutan. Pria yang tercatat sebagai salah satu Calon Bupati Loteng tersebut mengatakan, kebersamaan sangat indah. Kebersamaan merupakan rahmat dari Allah SWT.
Sama seperti Luthfi, Gde Sakti juga menyampaikan salam ibunda tercintanya kepada keluarga besar Ummi Hj Siti Rauhun dan jamaah NW lainnya. ‘’Tidak ada yang pantas diucapkan selain bersatu dan rapatkan barisan,’’ katanya.
Karena sudah tidak ada kubu-kubuan lagi di NW, Gde Sakti meminta semua jamaah dan pengurus NW untuk bersatu. Organisasi yang didirikan Almagfurullah Maulana Syekh tersebut akan semakin kokoh jika tidak ada lagi perbedaan di dalamnya. ‘’Kalau kami besopok (bersatu, Red) maka jamaah juga harus besopok,’’ ajaknya.
Pantauan Lombok Post, sejumlah jamaah NW tampak mengusap air mata ketika mendengar sambutan bersama HM Samsul Luthfi dan TGHL Gde Sakti.
Sementara itu, pengurus PB NW DR Mawardi Amri mengatakan, ini merupakan momen bersejarah. Semalam sebelum islah di Lapangan Umum Muhajirin, Mawardi Amri ditelepon oleh Ummi Hj Rauhun. ‘’Beliau (Ummi Hj Siti Rauhun, Red) berkata, sampaikan salam saya kepada Ummi Hj Siti Raehanun,’’ paparnya.
Mendapat telepon seperti itu, Mawardi terkejut. Ia lantas menghubungi sejumlah tokoh NW lainnya untuk menginformasikan kabar baik itu. Tidak lama kemudian, Amri bertolak ke Anjani untuk menyampaikan salam Ummi Rauhun ke Ummi Raehanun.
Setibanya di Anjani, Amri ditanya apakah salam yang ia bawa benar adanya. Untuk membuktikan kebenaran salam tersebut, Amri diminta memfasilitasi perbincangan antara Ummi Hj Siti Raehanun dan Ummi Hj Rauhun via ponsel. Perbincangan dua putri Almagfurullah Maulana Syekh akhirnya terjadi.
‘’Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita akan melihat beliau tampil bersamaan di hadapan publik,’’ terangnya.
Sementara itu, Ketua Pemuda NW Bersatu selaku penggagas islah di tubuh NW, Himni Amin, mengatakan, acara Silaturahmi dan Syafa’atul Qubro sudah dikonsep sejak tiga bulan lalu. ‘’Gagasan besar pemuda NW akhirnya terwujud. Kami sangat bersyukur atas hal itu,’’ katanya.
Keluarga besar NW memiliki cita-cita tulus untuk eksistensi organisasi ini ke depan. Jamaah NW tidak akan pernah membeda-bedakan anak, cucu dan keturunan Almagfurullah Maulana Syekh. Organisasi NW hanya satu, yakni yang didirikan oleh Maulana Syekh.
Himni mengatakan, terselenggaranya acara tersebut dipicu oleh rasa kerinduan yang teramat dalam akibat “perpisahan” yang sudah terjadi cukup lama. “Acara ini tidak ada maksud apa-apa, kecuali untuk menyatukan kembali warga NW,” tandasnya.
Lebih jauh dikatakan, keharusan bagi warga NW adalah mempersatukan kedua orang tua (Hj Umi Rauhun dan Hj Umi Raehanun) yang sudah lama “berjauhan”. Warga NW tidak boleh tebang pilih dengan membuang salah satunya. “Wajib hukumnya kita mencintai kedua Ummi kita,” tegasnya. (aji/cr-rzq)
5.14.2010
NW Pancor-Anjani Islah
Label:
Bianglala
5.13.2010
AKhirnya Basyir Pulang..!!
Seorang Aktivis LSM, yang sudah bergeliat banyak untuk bangsanya, bangsa sasak, beliau lebih memelih jadi pekerja sosial ketimbang duduk di birokrasi, gerakan-gerakannya selama ini tealh banyak memberikan andil untuk Lombok Timur, Roma Hidayat pekerja tanpa mencari tanda jasa.
" yaqin"
Basyir (30 tahun) ini bukan yang dikenal orang sebagai Ustadz dari Ngruki . Dia adalah teman sepermainan saya waktu usia 10 tahun dulu. Dia lebih tua 1 tahun dari saya. Setelah 20 tahun pergi, akhirnya, awal Nopember 2006 yang lalu Basyir Pulang Ke Desaku. Sebuah Desa tertinggal, Desa Lepak, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Saya Pernah berkelahi dengannya dipinggir kolam dekat Pasar, yang kini berubah menjadi Rumah karena sesuatu yang saya lupa sebabnya, dulu sebelum ia Pergi ke Malaysia . Ketika itu, saya masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar.. Di Perkebunan Pasir Logok-Malaysia, dia ditolak oleh taoke, karena masih terlalu kecil untuk bekerja(saat itu usia Basyir 13 th). Untuk Survive, Basyir menjadi tukang cuci bagi Buruh Perkebunan lainnya dengan upah berupa, gratis makan dan minum. Basyir kecil juga sempat mengecap kehidupan Balak kepulauan Riau setelah sebelumnya ditangkap, dipenjara lalu dibuang ke tempat penebangan liar itu oleh Polisi Diraja Malaysia .
Meski Banyak yang seperti Basyir di Kampungku, pergi puluhan tahun ke Malaysia , tak tentu rimba, keberadaannyapun sudah tak banyak dipersoalkan orang, kecuali oleh kerabatnya. Kepulangan Basyir menjadi buah bibir orang Kampung. Semua sudut kampong, bicara tentangnya. Terutama mereka yang kenal dan tahu Basyir, tahu kisah masa kecilnya. Bahkan hari ke-2 kepulangannya, Sehabis Sholat Jum’at, ia secara khusus diminta untuk berbicara di depan jam’ah di Mesjid Al Manar, Mesjid Kampung. Memulai sambutannya setelah puluhan tahun ia menghilang, “saye mohon maaf, tak boleh cakap Indon, ataupun Bahase Sasak (Bahasa Ibunya, Bahasa Lokal)…Untuk adik-adik, Perkenalkan Nama Saye Basyir, orang kampong sini”…Ungkap Basyir. Sesekali ia mengutip dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih. Dan sambil Basyir melanjutkan Sambutannya, Orang-orang yang tak mengenalnya (terutama mereka yang berusia dibahwah 30 tahun), tak tahan untuk bertanya pada sesiapa saja yang dianggap kenal dengan Basyir, siapa dia sebenarnya.
Meski peristiwa perkelahian tempo dulu di pinggir kolam itu adalah interaksi terkahir saya dengan Basyir. Tak sedikitpun dendam yang tersisa ketika saya berjumpa kembali setelah dewasa kini. 20 Tahun kami berpisah. Gaya Bicara, wawasannya, pengalaman-pengalam annya, pandangannya terhadap Politik Nasional dan Internasional membuatku kagum padanya. Karena Ia tak tamat SD, hanya sampai kelas 4 saja, dan masa kecilnya adalah kumpulan duka mencari kasih sayang orang tua. Sebuah masa kecil yang akhirnya mendorong ia untuk mengembara sampai ke negeri Seberang (dan baru setelah 20 tahun, ketika bertemu dengannku, Basyir tahu yang dilakukannya itu adalah Migrasi Undoccumented dariku). Dan menurutku, semua orang harus belajar pada Basyir, bagaimana tumbuh menjadi manusia yang bijak, meski datang dari masa kecil yang lebih merupakan potret penyiksaan terhadap anak, penuh dengan pukulan-pukulan. “Dulu ketika masih kecil, hampir semua orang yang saya sebut sebagai Bapak, Paman, bibik, kakek dan kerabat lainnya pernah memukul saya” tutur Basyir. Saya tak tahu sebabnya, mungkin saya nakal atau mereka mau mendidik saya, lanjutnya.
Saya masih faham Bahasa sasak, tapi tak boleh ucapkannya, sergah Basyir pada sebuah siang, ketika saya mengajaknya ke rumah. Kekagumanku makin bertambah ketika ia mengeluarkan sebuah ID card (Kartu Tanda Penduduk, KTP) Malaysia . Rupanya dia telah menjadi warga Malaysia (sayapun, entah karena apa, tidak memberitahunya, aturan hokum di Indonesia yang mengatur soal kewarganegaraan) . Saya terhipnotis, sesekali menyeka air mata, mendengar tuturnya. Ceritapun mengalir dalam bahasa Melayu, Bagaimana Pengembaraan Basyir kecil yang terobsesi untuk mencari sosok Ibu sampai ke Malaysia . Satu kalimat yang sangat menyentuh perasaanku sebagai Manusia adalah cerita menjelang hari-hari ia memutuskan untuk ikut rombongan perahu kayu mengembara ke Malaysia . ketika saya ingin lari dan sembunyi, mencari keamananan dan kenyamanan, dari cubitan, pukulan rotan, jeweran di telinga, jambakan di rambut, makian serta himpunan sumpah serapah dari Bapak dan keluarga Bapakku, saya lari dari rumah mencari kasih sayang ibu, tapi setelah bertemu Ibu, saya berfikir, bahwa apa ini ibu saya atau saya mungkin bukan anak dari Ibu ini, karena hal yang sama saya dapatkan disana. Tapi mungkin itu psikologi orang yang bercerai, jawab Basyir Sendiri mencoba menerka apa yang sesungguhnya terjadi dulu padanya.
Sayapun larut dalam kenangan tentang Basyir kecil. Semua orang di Kampungku dulu, tahun 80-an, menjadikan Basyir sebagai refresensi untuk “mendidik” anaknya. Apa kamu mau seperti Basyir ???. Pernah, ketika kami asyik bermain perang-perangan di kebun pinggiran Desa, Bapaknya datang membawa rotan dan menyeret dia didepan kami, sepanjang jalan Basyir dipukuli, tapi Basyir tak menangis (setelah saya bertemu kembali 20 tahun kemudian, baru saya tahu kenapa ia tak menangis, Tangisan saya tak ada gunanya, bahkan akan memperkeras pukulan rotan itu dibadan saya, untuk itu saya hanya memusatkan fikiran pada Bidadari di Sorga sebagai ibu saya tuturnya). Pernah juga, Basyir jadi tontonan kami, anak-anak kampong, dari pagi sampai waktu Ashar, Basyir diikat berdiri, kaki dan tangannya diikat, dan lehernya diikatkan ke tiang yang melintang menyangga atap rumah (Lampen, sasak) dengan tali plastic berdiameter 10 mm warna biru yang biasa dipakai untuk mengikat Sapi waktu digembala, dan kenangan lain tentang Basyir yang dicambuk.
Terlalu banyak alasan untuk memukul Basyir kecil oleh bapaknya, tidak mencabit rumput, tidak mencari kayu baker, terlambat mengandangkan kambing, terlambat pergi mengaji, nakal, rakus. Tapi saya tak dendam ataupun sakit hati, saya hanya berharap tidak ada anak, apalagi anak saya mengalami hal yang demikian, tekadnya. PAda tanggal 25 Nopember kemarin, Basyir “pulang” lagi ke Negeri Jiran. saya tak tahu apa yang mau saya kerjakan di Sini, saya tak ada lahan, tak ada keterampilan, Ringgit yang saya bawapun tak banyak, setakat harga tiket round trip, katanya. Sempat ia berkonsultasi dengan saya masalah hokum warisan. Tanah yang mestinya menjadi warisan Ibunya dikuasai seluruhnya oleh Pamannya (Adik Pria dari Ibunya yang bernama Nurman). Kakeknya telah meninggal, ibunya adalah anak sulung dari 4 bersaudara (3 perempuan dan 1 pria). NAmun semua warisan dikuasai oleh sang Paman, karena dalam adat Sasak, Perempuan Bergantung pada pria. Jika Saudara Prianya menghendaki, maka ia akan diberi bagian warisan, dan sebaliknya. Saya beritahu Basyir, bahwa Indonesia punya hokum soal warisan tersebut dan ia dapat memperoleh hak berupa tanah dari bagian Ibunya. Awalnya ia bersemangat, tapi setelah saya katakan bahwa proses hokum Indonesia soal warisan tadi bisa memakan waktu sepuluh tahun dan dengan biaya tinggi jika kita masuk ke Pengadilan. Ia akhirnya memutuskan untuk mengikhlaskannya, mungkin hidup saya memang di Malaysia ungkapnya. Tapi kali ini tak seperti kepergiannya pada tahun 1987 yang lampau, kini ia pergi sendiri memakai Pesawat Terbang Via Bandara Selaparang dalam sosok Pria Dewasa yang memegang dua kewarganegaraan, jelas alamat yang dituju, yaitu orang tua angkatnya di Malaysia sana.
Sebelum ia pergi, Basyir meninggalkan pesan pada saya, 1) jika engkau hendak menulis kisah Basyir, maka tuliskan itu dalam bentuk gaya bertutur Aku, 2) Suatu masa nanti saya akan balik Kampung lagi. Nah, tulisan kisah Basyir sedang saya garap, dan yang kini sedang anda baca adalah prolog dari kisah itu.
Seperti yang dituturkan Basyir…
Read More......
Meski Banyak yang seperti Basyir di Kampungku, pergi puluhan tahun ke Malaysia , tak tentu rimba, keberadaannyapun sudah tak banyak dipersoalkan orang, kecuali oleh kerabatnya. Kepulangan Basyir menjadi buah bibir orang Kampung. Semua sudut kampong, bicara tentangnya. Terutama mereka yang kenal dan tahu Basyir, tahu kisah masa kecilnya. Bahkan hari ke-2 kepulangannya, Sehabis Sholat Jum’at, ia secara khusus diminta untuk berbicara di depan jam’ah di Mesjid Al Manar, Mesjid Kampung. Memulai sambutannya setelah puluhan tahun ia menghilang, “saye mohon maaf, tak boleh cakap Indon, ataupun Bahase Sasak (Bahasa Ibunya, Bahasa Lokal)…Untuk adik-adik, Perkenalkan Nama Saye Basyir, orang kampong sini”…Ungkap Basyir. Sesekali ia mengutip dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih. Dan sambil Basyir melanjutkan Sambutannya, Orang-orang yang tak mengenalnya (terutama mereka yang berusia dibahwah 30 tahun), tak tahan untuk bertanya pada sesiapa saja yang dianggap kenal dengan Basyir, siapa dia sebenarnya.
Meski peristiwa perkelahian tempo dulu di pinggir kolam itu adalah interaksi terkahir saya dengan Basyir. Tak sedikitpun dendam yang tersisa ketika saya berjumpa kembali setelah dewasa kini. 20 Tahun kami berpisah. Gaya Bicara, wawasannya, pengalaman-pengalam annya, pandangannya terhadap Politik Nasional dan Internasional membuatku kagum padanya. Karena Ia tak tamat SD, hanya sampai kelas 4 saja, dan masa kecilnya adalah kumpulan duka mencari kasih sayang orang tua. Sebuah masa kecil yang akhirnya mendorong ia untuk mengembara sampai ke negeri Seberang (dan baru setelah 20 tahun, ketika bertemu dengannku, Basyir tahu yang dilakukannya itu adalah Migrasi Undoccumented dariku). Dan menurutku, semua orang harus belajar pada Basyir, bagaimana tumbuh menjadi manusia yang bijak, meski datang dari masa kecil yang lebih merupakan potret penyiksaan terhadap anak, penuh dengan pukulan-pukulan. “Dulu ketika masih kecil, hampir semua orang yang saya sebut sebagai Bapak, Paman, bibik, kakek dan kerabat lainnya pernah memukul saya” tutur Basyir. Saya tak tahu sebabnya, mungkin saya nakal atau mereka mau mendidik saya, lanjutnya.
Saya masih faham Bahasa sasak, tapi tak boleh ucapkannya, sergah Basyir pada sebuah siang, ketika saya mengajaknya ke rumah. Kekagumanku makin bertambah ketika ia mengeluarkan sebuah ID card (Kartu Tanda Penduduk, KTP) Malaysia . Rupanya dia telah menjadi warga Malaysia (sayapun, entah karena apa, tidak memberitahunya, aturan hokum di Indonesia yang mengatur soal kewarganegaraan) . Saya terhipnotis, sesekali menyeka air mata, mendengar tuturnya. Ceritapun mengalir dalam bahasa Melayu, Bagaimana Pengembaraan Basyir kecil yang terobsesi untuk mencari sosok Ibu sampai ke Malaysia . Satu kalimat yang sangat menyentuh perasaanku sebagai Manusia adalah cerita menjelang hari-hari ia memutuskan untuk ikut rombongan perahu kayu mengembara ke Malaysia . ketika saya ingin lari dan sembunyi, mencari keamananan dan kenyamanan, dari cubitan, pukulan rotan, jeweran di telinga, jambakan di rambut, makian serta himpunan sumpah serapah dari Bapak dan keluarga Bapakku, saya lari dari rumah mencari kasih sayang ibu, tapi setelah bertemu Ibu, saya berfikir, bahwa apa ini ibu saya atau saya mungkin bukan anak dari Ibu ini, karena hal yang sama saya dapatkan disana. Tapi mungkin itu psikologi orang yang bercerai, jawab Basyir Sendiri mencoba menerka apa yang sesungguhnya terjadi dulu padanya.
Sayapun larut dalam kenangan tentang Basyir kecil. Semua orang di Kampungku dulu, tahun 80-an, menjadikan Basyir sebagai refresensi untuk “mendidik” anaknya. Apa kamu mau seperti Basyir ???. Pernah, ketika kami asyik bermain perang-perangan di kebun pinggiran Desa, Bapaknya datang membawa rotan dan menyeret dia didepan kami, sepanjang jalan Basyir dipukuli, tapi Basyir tak menangis (setelah saya bertemu kembali 20 tahun kemudian, baru saya tahu kenapa ia tak menangis, Tangisan saya tak ada gunanya, bahkan akan memperkeras pukulan rotan itu dibadan saya, untuk itu saya hanya memusatkan fikiran pada Bidadari di Sorga sebagai ibu saya tuturnya). Pernah juga, Basyir jadi tontonan kami, anak-anak kampong, dari pagi sampai waktu Ashar, Basyir diikat berdiri, kaki dan tangannya diikat, dan lehernya diikatkan ke tiang yang melintang menyangga atap rumah (Lampen, sasak) dengan tali plastic berdiameter 10 mm warna biru yang biasa dipakai untuk mengikat Sapi waktu digembala, dan kenangan lain tentang Basyir yang dicambuk.
Terlalu banyak alasan untuk memukul Basyir kecil oleh bapaknya, tidak mencabit rumput, tidak mencari kayu baker, terlambat mengandangkan kambing, terlambat pergi mengaji, nakal, rakus. Tapi saya tak dendam ataupun sakit hati, saya hanya berharap tidak ada anak, apalagi anak saya mengalami hal yang demikian, tekadnya. PAda tanggal 25 Nopember kemarin, Basyir “pulang” lagi ke Negeri Jiran. saya tak tahu apa yang mau saya kerjakan di Sini, saya tak ada lahan, tak ada keterampilan, Ringgit yang saya bawapun tak banyak, setakat harga tiket round trip, katanya. Sempat ia berkonsultasi dengan saya masalah hokum warisan. Tanah yang mestinya menjadi warisan Ibunya dikuasai seluruhnya oleh Pamannya (Adik Pria dari Ibunya yang bernama Nurman). Kakeknya telah meninggal, ibunya adalah anak sulung dari 4 bersaudara (3 perempuan dan 1 pria). NAmun semua warisan dikuasai oleh sang Paman, karena dalam adat Sasak, Perempuan Bergantung pada pria. Jika Saudara Prianya menghendaki, maka ia akan diberi bagian warisan, dan sebaliknya. Saya beritahu Basyir, bahwa Indonesia punya hokum soal warisan tersebut dan ia dapat memperoleh hak berupa tanah dari bagian Ibunya. Awalnya ia bersemangat, tapi setelah saya katakan bahwa proses hokum Indonesia soal warisan tadi bisa memakan waktu sepuluh tahun dan dengan biaya tinggi jika kita masuk ke Pengadilan. Ia akhirnya memutuskan untuk mengikhlaskannya, mungkin hidup saya memang di Malaysia ungkapnya. Tapi kali ini tak seperti kepergiannya pada tahun 1987 yang lampau, kini ia pergi sendiri memakai Pesawat Terbang Via Bandara Selaparang dalam sosok Pria Dewasa yang memegang dua kewarganegaraan, jelas alamat yang dituju, yaitu orang tua angkatnya di Malaysia sana.
Sebelum ia pergi, Basyir meninggalkan pesan pada saya, 1) jika engkau hendak menulis kisah Basyir, maka tuliskan itu dalam bentuk gaya bertutur Aku, 2) Suatu masa nanti saya akan balik Kampung lagi. Nah, tulisan kisah Basyir sedang saya garap, dan yang kini sedang anda baca adalah prolog dari kisah itu.
Seperti yang dituturkan Basyir…
Label:
Berugak Sastra
Langganan:
Postingan (Atom)