sumber adbmi
“Uang haram nakjis, pasti ia jadi pelacur di sana”. Masyarakat akur bin kompak mencibirkan mulut, secibir-cibirnya ketika tersiar kabar bahwa Mispalah seorang janda yang kala itu berusia 29 Tahun, mengirimkan uang dalam jumlah wah kala itu dari Saudi Arabia. “Sesungguhnya sangat berat untuk melawan aturan budaya kala itu, tapi mau bagaimana, kehidupan saya sangat miskin, suami saya tak ada lagi kabarnya setelah pamit mau mengadu nasib ke Maluku, sementara anak-anak tambah besar dan minta makan, saya tak mau jadi beban keluarga dan masyarakat”, tegasnya.
Kejadian itu terjadi 24 tahun lampau, kini Mispalah 53 tahun duduk dengan tenang menikmati masa tua, perekonomiannya tergolong berada untuk ukuran kampungnya. Uang “haram nakjis dan cibiran” yang dulu dialamatkan padanya kini berkembang menjadi rumah yang bagus, lahan pertanian yang cukup, bahkan mobil open cup kini terparkir di halaman rumah. Karena kesuksesannya menjadi buruh Migran Perempuan BMP (TKW) inilah, perempuan-perempuan desa yang lainnya memberontak melepas diri dari penjara norma sosial budaya bahkan “agama” untuk keluar Desa melihat luasnya dunia, mencari perubah nasib di negeri orang, menjadi TKW. Hukum bahwa perempuan haram bekerja ke luar Negeri itu kini sudah tumbang oleh desakan kebutuhan ekonomi, Mispalah jadi tauladan kaumnya sekarang.
Mispalah yang kini punya embel-embel nama Hajjah sebagai pertanda pernah naik haji ke Makkah bekerja ke Riyadh Arab Saudi pada tahun 1984, ketika itu Mispalah berangkat melalui PT. Al-Hikmah Jaya dengan calo’ bernama H.Fatah dari Desa Lede, Gerung Lombok Barat. Pada saat itu perempuan yang akan berangkat ke saudi arabia belum di kenakan ongkos justru Mispalah lah yang di kasih uang Rp.22.000 oleh PJTKI tersebut, Hj. Mispalah berangkat dari Rumah menggunakan Bus dan sampai Di Jakarta ia di tampung Di Jakarta Selatan, setelah di tampung selama 22 hari barulah pada tanggal 4 September 1984 Hj. Mispalah Di berangkatkan ke Riyadh. Di Riyadh ia bekerja di rumah majikan bernama Abdullatif Alhasan selama 5 tahun dengan gaji 400 Real perbulan atau kalau di rupiahkan waktu itu seharga Rp.150.000. sepulangnya ia menyuruh anak-anaknya untuk pergi ke negeri-negeri Timur Tengah. Kawasan ini menjadi serbuan utama masyarakat Desa Suralaga, Lombok Timur, NTB karena alasan misi ekonomi dan agama.
Desa Suralaga memang memiliki profile Buruh Migrant yang sedikit berbeda dengan Desa-Desa lain di Lombok Timur. Selain karena terkesan lebih religius, desa ini tidak bisa dibilang desa Miskin, tanah yang subur, air yang mengalir sepanjang tahun dan masyarakat yang punya tradisi bertani serta berdagang yang sangat kuat, beberapa rumah megah dengan mobil mewah terparkir di halaman yang sudah pasti milik Tekong-tekong setempat hasil jasa mensuplai perempuan-perempuan Desa ini ke PJTKI di Jakarta menghiasi sudut-sudut desa, dan mereka ini secara rutin bolak-bolik ke Ibu kota Negara itu dengan Pesawat, sebuah kebiasaan yang sangat luar biasa bagi orang Desa. Satu lagi tambahan ciri tekong ini, yaitu memiliki Istri atau kawin lebih dari satu, setiap kali ada rezeki lebih setiap pengiriman TKW artinya tambahan Istri baru. Dimana Rumah-rumah milik tekong ini, tinggal di pasangai spanduk dan famlet rekruetment maka “sah” merangkap sebagai kantor cabang PJTKI, tunjuk satu bintang PT. Duta Sapta perkasa dengan Kepala Cabang H.Lukman dan PT. Rahman Pratama Sejati dengan Kepala Cabang H.L.Candra.
Desa Suralaga kecamatan Suralaga, dalam perspektif lokal Masyarakat Lombok Timur secara fungsional dipandang kawasan yang tidak jauh beda dipandang sebagai Kawasan Madinah di Saudi Arabia, sebagai tujuan Hijrah kamu tertindas di Makkah. Hal ini berkembang paska pertikaian fisik horizontal yang mengorbankan begitu banyak nyawa dan harta akibat terbelah duanya Pengurus ORMAS Nahdhatul Wathan sebagai ORMAS berbasis agama pertama dan terbesar di Nusa Tenggara Barat tahun 1998. Pengurus dan Masyarakat yang pro pada salah satu cucu pendiri NW ini akhirnya memutuskan pindah (dalam bahasa mereka hijrah) ke kawasan utara tengah Lombok Sekitar Desa Anjani dan Desa Suralaga. Di Desa inilah Mispalah lahir, besar dan kini menikmati masa tuanya.
4.11.2011
Perempuan Pionir Migrasi: Dicaci Kemudian Di Teladani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar